Berita  

Hidup Keluarga Pengrajin Anyaman Bakul Bambu ini Cukup Memprihatinkan

Meski harga jual yang rendah, Sarnen (65) bersama keluarga tetap bertahan hidup dengan memproduksi bakul bambu (FOTO: Gibran)

SIARAN.ID – Hidup sepertinya cukup berat bagi keluarga pengrajin anyaman bambu di Banten ini. Penghasilan yang diperoleh dari produksi yang mengandalkan kerajinan tangan hanya cukup alias pas-pasan untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Sarnen (65), warga Kampung Telaga Desa/Kecamatan Bandung Kabupaten Serang yang ditemui siaran.id di rumahnya, mengaku sudah menjadi usaha keluarga turun-temurun menyambung hidup dengan berpenghasilan dari anyaman bakul bambu.

“Saya sejak masih kecil sudah menjalani usaha bikin bakul ini, pak. Saat itu bantu-bantu keluarga mencari nafkah seperti ini,” ujarnya di sela-sela aktifitas produksi bakul bambu di rumahnya, Senin (22/02) sore.

Disebutkan Sarnen, dirinya harus bersama anak, istri dan menantunya dalam menjalankan home industry bakul bambu ini, meski harus lewat kerja siang hingga malam hari.

“Kita jual ke tengkulak yang sengaja datang ke sini, dan bakul mereka jual ke Lampung. Kalau tengkulak gak datang, kita jual bakul-bakul ini ke pasar yang ada di sekitar sini,” ungkapnya.

Dijelaskan Sarnen, harga bakul bisa mencapai Rp. 25 ribu persatuannya, namun demikian jumlah produksi yang dihasilkan tidak begitu maksimal dalam sebulan.

“Paling dalam sebulan bisa mencapai dua kodi (40 bakul-red), pak. Bayangkan aja dengan penghasilan seperti itu jauh dari hidup layak,” keluhnya.

Sementara itu Sarna (30), yang merupakan anak Sarnen, menceritakan berpenghasilan lewat membuat bakul bambu untuk menghidupi keluarga tidak bisa diandalkan lagi. Selain harga kebutuhan bahan pokok yang tinggi, hasil penjualan bakulpun tidak maksimal.

“Kita sering tutup lobang gali lobang untuk memenuhi kebutuhan dapur, pak. Ya, kita harus hutang dulu sama tengkulak dan dibayar nanti pas bakul sudah dibuat,” tandasnya.

Sarna pun mengaku selain keluarganya tidak pernah mendapat bantuan dari pihak pemerintah, dan terpaksa bertahan hidup dengan memproduksi bakul bambu.

“Ya, harus gimana lagi, pak. Terpaksa kami hidup prihatin seperti ini,” kata Sarna dengan ekspresi muka sedih. (GR/AR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *